MAKALAH Penyitaan Hukum Perdata
BAB I
Pengertian Penyitaan dalam Hukum
Penyitaan ialah upaya paksa dalam proses peradilan pidana yang dilakukan oleh penyidik untuk mengambil atau merampas suatu barang tertentu dari seorang tersangka. Pengertian lain dari Penyitaan ialah tindakan penempatan harta kekayaan tergugat secara paksa berada dalam keadaan penjagaan. Pada pasal 199 HIR dan Pasal 231 KUHPER, terjamin perlindungan yang kuat bagi penggugat atas terpenuhnya pelaksanaan putusan pengadilan pada saat eksekusi dijalankan. Tujuan dari dilakukannya penyitaan untuk kepentingan pembuktian, terutama ditunjukkan sebgai barang bukti dimuka sdang pengadilan. Benda-benda yang diperoleh melalui tindakan penyitaan disebut bunda sitaan negara (berdasarkan pasal 1 butir 4 peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP). Tanggung Jawab terhadap benda sitaan atas hal segala yang berkaitan dengan status yuridis benda sitaan tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Penyitaan ?
2. Prinsip pokok sita apa yang terdapat di dalamnya?
3. Apa peran juru sita dalam pengadilan agama / mahkamah Syari’ah?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengertian dari penyitaan
2. Untuk memahami beberapa prinsip pokok dalam yang ada dalam sita
3. Untuk mengetahui peranan juru sita dalam Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah
D. Manfaat Penelitian
Memberikan manfaat dan kontribusi pemikiran yang dapa digunakan bagi pengembagan ilmu hokum dan hokum perdata pada khususnya.
Menurut Marrianne Termorshuizen , Kamus Hukum Belanda – Indonesia halaman 49 penyitaan berasal dari terminology beslag (Belanda) dan istilah Indonesia beslah tetapi istilah bakunya ialah sita atau penyitaan. Pengertian yang terkandung di dalamnya ialah
1. Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada kedalam keadaan penjagaan (to take into custody the property of a defendant),
2. Tindakan paksa penjagaan itu dilakukan secara resmi (official) berdasrkan perintah pengadilan atau hakim,
3. Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan, tetapi boleh juga barang yang dijadikan sebgai alat pembayaran atas pelunasan utang debitur atau tergugat, dengan jalan menjual lelang barang yang disita tersebut,
4. Penempatan dan penjagaan barang yang disita,berlangsung selama proses pemerikasaan, sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hokum tetap, yang menyatakan sah atau tidak tindakan penyitaan tersebut.
Menurut Dr. Mardani dalam bukunya yang bejudul Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama dan Mahkamah Syari’ah halaman 124 Sita merupakan saat tindakan hokum oleh hakim yang bersifat eksepsional, atas permohonan satu pihak yang berperkara, untuk mengamankan objek sengkta atau menjadi jaminan dari kemungkinan dipindah tangankan dibebani sesuai sebagai jaminan, dirusak atau dimusnahkan oleh pemegang atau pihak yang meguasai rang tersebut, untuk menjamin suatu putusan perdata.
Dalam buku penerapan hokum acara perdata buku milik Dr.Drs.H.Abdul Manan, SH., S.IP., M.Hum pengertian sita dan penyitaan di atur oleh R.O (Reglement op de Rechtterlijke Organisatie en hed beleid Justitie in Indonesia)1847 Nomor 23 jo Stb. 1848 Nomor 57s ita dan penyitaan yang dilakukan oleh Pengadilan Negri dilaksanakan oleh Juru Sita, mereka ini adalah pejabat umum. Mereka ini adalah diberhentikan oleh Residen dalam wilayah hokum dimana Pengadilan Negri berada. Mereka juga mengangkat sumpah sebelum melaksanakan tugasnya. Peraturan ini mengemukakan bahwa juru sita itu telah dilakukan dalam berbagai tingkat pengadilan diwilayah hokum yang telah ditetapkan.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1942, pada saat penajahan Jepang berdasarkan Undang-Undang tersebut penyitaan tetap diakui keberadaannya dan diperkenankan melaksanakan seluruh kegiatannnya sebagai yang diberlakukan pada masa pemerintah penjajahan Belanda.
Ketentuan Sita dan penyitaan pemerintah Militer Jepang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1942 dan Nomor 34 Tahun 1942. Dalam ketentuan ini hamper semua apa yang tersebut dalam HIR dan R.Bg dipakai dalam pelaksaan sita dan penyitaan di lingkungan Pengadilan Negeri yang berlaku di Jawa, Madura dan di daerah seberang.
Pertama kali tentang Juru sita dan penyitaan diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 Bab IV pasal 65 tentang Juru Sita berbunyi
(1) Jurusita dan jurusita pengganti adalah pejabat umum
(2) Jurusita diangkat dan diberhentikan oleh Mentri Kehakiman dan Jurusita pngganti diberhentikan oleh Kepala Pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 66 berbunyi :
(1) Jurusita mempunya tugas dalam pengadilan dan melaksanakan semua tugas yang diberika oleh ketua siding.
(2) Ia mempunyai tugas dalam daerah hokum pengadilan dimana ia diangkat
(3) Selain tugas tersebut dalam ayat (1) ia melakukan pemberitahuan-pemberitahuan pengadilan, memberikan pengumuman-pengumuman, protesprotes yang berhubungan tau tidak berhubungan dengan perkara yang sedang dipersidangkan dari semua perkara pidana maupun perkara perdata dalam hal-hal menurut cara-cara yang diatur dengan Undang-undang.
(4) Atas perintah Kepala Pengadilan Negeri atau Panitera, Jurusita melakukan Pensitaan.
(5) Ia membuat berita acara yang salinnya diserahkan kepada orang yang tersangkut dalam sitaan.
Kemudian di pertegas lagi tentang tugas dan fungsi dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Sita dan penyitaan yang selama ini hanya berlaku dilingkungan Peradilan Umum , sekarang diberlakukan juga di lingkungan Peradilan Agama.
Dalam pasal 38-42 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradian Agama dikemukakan bahwa pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya Jurusita dan Jurusita Pengganti ini ditetapkan dalam kedudukannya baik sebagai structural maupun sebagai teknis fungsonal. Syarat-syarat sebagai Jurusita maupun Jursita pengganti adalah warga negara Republik Indonesia, beragama Islam, dan Bertaqwa Kepada Tuhan yang Maha Esa, setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, dan berijasah serendah-rendahnya SLTA.
Dalam Hukum Acara Perdata Penyitaan adalah tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada kedalam penjagaan
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Penyitaan ?
2. Prinsip pokok sita apa yang terdapat di dalamnya?
3. Apa peran juru sita dalam pengadilan agama / mahkamah Syari’ah?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengertian dari penyitaan
2. Untuk memahami beberapa prinsip pokok dalam yang ada dalam sita
3. Untuk mengetahui peranan juru sita dalam Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah
D. Manfaat Penelitian
Memberikan manfaat dan kontribusi pemikiran yang dapa digunakan bagi pengembagan ilmu hokum dan hokum perdata pada khususnya.
BAB II
PEMBAHASAN KAJIAN TEORI
Menurut Marrianne Termorshuizen , Kamus Hukum Belanda – Indonesia halaman 49 penyitaan berasal dari terminology beslag (Belanda) dan istilah Indonesia beslah tetapi istilah bakunya ialah sita atau penyitaan. Pengertian yang terkandung di dalamnya ialah
1. Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada kedalam keadaan penjagaan (to take into custody the property of a defendant),
2. Tindakan paksa penjagaan itu dilakukan secara resmi (official) berdasrkan perintah pengadilan atau hakim,
3. Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan, tetapi boleh juga barang yang dijadikan sebgai alat pembayaran atas pelunasan utang debitur atau tergugat, dengan jalan menjual lelang barang yang disita tersebut,
4. Penempatan dan penjagaan barang yang disita,berlangsung selama proses pemerikasaan, sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hokum tetap, yang menyatakan sah atau tidak tindakan penyitaan tersebut.
Menurut Dr. Mardani dalam bukunya yang bejudul Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama dan Mahkamah Syari’ah halaman 124 Sita merupakan saat tindakan hokum oleh hakim yang bersifat eksepsional, atas permohonan satu pihak yang berperkara, untuk mengamankan objek sengkta atau menjadi jaminan dari kemungkinan dipindah tangankan dibebani sesuai sebagai jaminan, dirusak atau dimusnahkan oleh pemegang atau pihak yang meguasai rang tersebut, untuk menjamin suatu putusan perdata.
Dalam buku penerapan hokum acara perdata buku milik Dr.Drs.H.Abdul Manan, SH., S.IP., M.Hum pengertian sita dan penyitaan di atur oleh R.O (Reglement op de Rechtterlijke Organisatie en hed beleid Justitie in Indonesia)1847 Nomor 23 jo Stb. 1848 Nomor 57s ita dan penyitaan yang dilakukan oleh Pengadilan Negri dilaksanakan oleh Juru Sita, mereka ini adalah pejabat umum. Mereka ini adalah diberhentikan oleh Residen dalam wilayah hokum dimana Pengadilan Negri berada. Mereka juga mengangkat sumpah sebelum melaksanakan tugasnya. Peraturan ini mengemukakan bahwa juru sita itu telah dilakukan dalam berbagai tingkat pengadilan diwilayah hokum yang telah ditetapkan.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1942, pada saat penajahan Jepang berdasarkan Undang-Undang tersebut penyitaan tetap diakui keberadaannya dan diperkenankan melaksanakan seluruh kegiatannnya sebagai yang diberlakukan pada masa pemerintah penjajahan Belanda.
Ketentuan Sita dan penyitaan pemerintah Militer Jepang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1942 dan Nomor 34 Tahun 1942. Dalam ketentuan ini hamper semua apa yang tersebut dalam HIR dan R.Bg dipakai dalam pelaksaan sita dan penyitaan di lingkungan Pengadilan Negeri yang berlaku di Jawa, Madura dan di daerah seberang.
Pertama kali tentang Juru sita dan penyitaan diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 Bab IV pasal 65 tentang Juru Sita berbunyi
(1) Jurusita dan jurusita pengganti adalah pejabat umum
(2) Jurusita diangkat dan diberhentikan oleh Mentri Kehakiman dan Jurusita pngganti diberhentikan oleh Kepala Pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 66 berbunyi :
(1) Jurusita mempunya tugas dalam pengadilan dan melaksanakan semua tugas yang diberika oleh ketua siding.
(2) Ia mempunyai tugas dalam daerah hokum pengadilan dimana ia diangkat
(3) Selain tugas tersebut dalam ayat (1) ia melakukan pemberitahuan-pemberitahuan pengadilan, memberikan pengumuman-pengumuman, protesprotes yang berhubungan tau tidak berhubungan dengan perkara yang sedang dipersidangkan dari semua perkara pidana maupun perkara perdata dalam hal-hal menurut cara-cara yang diatur dengan Undang-undang.
(4) Atas perintah Kepala Pengadilan Negeri atau Panitera, Jurusita melakukan Pensitaan.
(5) Ia membuat berita acara yang salinnya diserahkan kepada orang yang tersangkut dalam sitaan.
Kemudian di pertegas lagi tentang tugas dan fungsi dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Sita dan penyitaan yang selama ini hanya berlaku dilingkungan Peradilan Umum , sekarang diberlakukan juga di lingkungan Peradilan Agama.
Dalam pasal 38-42 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradian Agama dikemukakan bahwa pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya Jurusita dan Jurusita Pengganti ini ditetapkan dalam kedudukannya baik sebagai structural maupun sebagai teknis fungsonal. Syarat-syarat sebagai Jurusita maupun Jursita pengganti adalah warga negara Republik Indonesia, beragama Islam, dan Bertaqwa Kepada Tuhan yang Maha Esa, setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, dan berijasah serendah-rendahnya SLTA.
Dalam Hukum Acara Perdata Penyitaan adalah tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada kedalam penjagaan
BAB III
PEMBAHASAN ANALISIS
A. Pengertian Penyitaan
Menurut Marrianne Termorshuizen , Kamus Hukum Belanda – Indonesia halaman 49 penyitaan berasal dari terminology beslag (Belanda) dan istilah Indonesia beslah tetapi istilah bakunya ialah sita atau penyitaan. Pengertian yang terkandung di dalamnya ialah
1. Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada kedalam keadaan penjagaan (to take into custody the property of a defendant),
2. Tindakan paksa penjagaan itu dilakukan secara resmi (official) berdasrkan perintah pengadilan atau hakim,
3. Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan, tetapi boleh juga barang yang dijadikan sebgai alat pembayaran atas pelunasan utang debitur atau tergugat, dengan jalan menjual lelang barang yang disita tersebut,
4. Penempatan dan penjagaan barang yang disita,berlangsung selama proses pemerikasaan, sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hokum tetap, yang menyatakan sah atau tidak tindakan penyitaan tersebut.
Menurut Dr. Mardani dalam bukunya yang bejudul Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama dan Mahkamah Syari’ah halaman 124 Sita merupakan saat tindakan hokum oleh hakim yang bersifat eksepsional, atas permohonan satu pihak yang berperkara, untuk mengamankan objek sengkta atau menjadi jaminan dari kemungkinan dipindah tangankan dibebani sesuai sebagai jaminan, dirusak atau dimusnahkan oleh pemegang atau pihak yang meguasai rang tersebut, untuk menjamin suatu putusan perdata.
Beberapa Prinsip Pokok Sita
Terdapat beberapa prinsip pokok penyitaan yang mesti ditaati. Prinsip yang dikemukakan dalam uraian ini merupakan ketentuan yang bersifat umum terdapat segala bentuk sita tanpa mengurangi adanya perbedaan yang bersifat khusus pada masing masing enis sita. Dari segi bentuk, Undang-undang memperkenalkan sita revendiksi (revendicatoir beslag), sita jaminan (conservatoir beslag) dan sita eksekusi (executorial beslag). Sedangkan dari segi jenis atau objek, pada garis besarnya dikenal sita barang bergerak, sita barang tidak bergerak, sita atas kapal laut dan sita atas kapal terbang. Namun demikian terdapat persamaan pronsip pokok tanpa mengurangi adanya perbedaan. Persamaan prinsip pokok itu yang akan dijelaskan pada bagian ini.
1. Sita Berdasarkan Permohonan
Menurut Pasal 226 dan 227 HIR atau Pasal 720 Rv maupun berdasarkan SEMA No.5 Tahun 197, pengabulan dan perintah pelaksanaan sita, bertitik tolak dari permintaan atau permohonan penggugat, perintah penyitan tidak dibenarkaknberdasarkan ex-officio hakim.
Bentuk permohonan
Bertitik tolak dari prinsip pemeriksaan persidangan yang dianut HIR-Rbg acara proses beracara secara lisan dihubungkan dengan ketentuan Pasal 226 dan Pasal 227 HIR, bentuk permohonan sita:
1) Bentuk Lisan (Oral)
Permintaan sita dapat diajukan dengan lisan. Hal itu sesuai dengan prinsip yang dianut HIr-Rbg bahwa jalannya proses pemeriksaan dipersidangan adalah beracara secara lisan (mondelinge procedure). Prinsip ini jelas ditegaskan dalam salah satu putusan PT Medan yang mengatakan, pada prinsipnya pemeriksaan sengketa di antara para pihak berlangsung secara Tanya – Jawab dengan lisan. Sehubungan dengan itu, Undang-Undang membenarkan permohonan sita secara lisan di depan persidangan. Apabila permohonan sita diajukan dengan lisan, permintaan itu dicatat dalam berita acara sidang, dan berdasarkan permintaan itulah hakim menegeluarkan perintah sita apabila permohonan dianggap mempunyai dasar alasan yang cukup.
2) Bentuk Tertulis
Bentuk ini dianggap paling tepat karena memenuhi administrasi yustisial yang lebih baik. Itu sebabnya Pasal 227 Ayat (1) HIR mengehendaki agar sita diajukan dalam bentuk tertulis berupa surat permintaan :
a. Permintaaan disatukan dengan surat gugatan
b. Diajukan dalam surat tersendiri
2. Permohonan berdasarkan alasan
Seperti yang dijelaskan, penyitaan merupakan hukuman dan perampasan harta kekayaan tergugat sebelum putusan berkekuatan hokum tetap. Oleh karena itu, penyitaan sebagai tindakan yang bersifat eksepsional, harus benar-benar dilakukan secara cermat berdasarkan alasan yang kuat Pasal 227 HIR atau Pasal 270 Rv memperingatkan hal itu , agar penggugat dalam pengajuan sita menunjukkan kepada hakim sejauh mana isi dan dasar gugatan dihubungkan dengan relevansi dan urgensi penyitaan dalam perkara yang bersangkutan.
a. Alasan sita
Menurut Pasal 227 HIR maupun Pasal 720 Rv, alasan pokok permintaan sita:
1) Adanya kekhawatiran atau persangkaan bahwa tergugat
2) Kekhawatiran atau persangkaan itu harus nyata dan beralasan secara objektif
3) Sedemikian rupa eratnya isi gugatan dengan penyitaan, yang apabila penyitaan tidak dilakukan dengan tergugat menggelapkan harta kekayaan, mengakibatkan kerugian kepada penggugat
b. Yang berwenang menilai alasan
Penilaian atas alasan sita, menjadi kewenangan hakim. Hakim bebas menilai apakah alasan itu memiliki kualitas subyektif dan obyektif. Patokan yang dipergunakan hakim menilai akasan penyitaan yang diajukan penggunggat antara lain :
1) Adanya fakta kongkre yang mendukung persangkaan adanya tindakan mengasingkan harta kekayaan
2) Terdapat pentunjak yang membenarkan prasangkaan itu
3) Pentunjuk itu bersifat masuk akal
c. Tanpa Alasan Sta Ditolak
Hokum menuntun permohonan sita berdasarkan alasan yang di dukung fakta, hakim tidak dibenarkan menuntut yang melampaui batas. Misalnya, hars dibuktikan berdasrkan batas minimal pembuktian yang sempurna dan mengikat. Sikap yang demikian dianggap berlebihan, dapat menimbulkan kesewengan, dan juga dapat mematikan hak penggunggat mengajukan permintaan sita. Misalnya, hakim meminta bukti tertulis atau sanksi tentang adanya upaya tergugat untuk menggelapka harta kekayaannya. Permintaan itu dianggap terlampaui ekstrem yang berlebihan.
3. Penggungat wajib menunjukkan barang sita
Hokum membebankan kewajiban kepada penggungat untuk menyebut secara jelas dan satu persatu barang obyek yang hendak disita.
4. Permintaan dapat diajukan Sepanjang pemerkasaan Sidang
Penegasan Putusan MA No371 K/Pdt/1984 yang berisi “ meski sita jaminan (CB) tidak tercantum dalam gugatan maupun dalam petitum gugatan, dan baru diajukan belakangan dalam surat tersendiri, jauh setelah gugatan didaftarkan, cara yang demikian tidak bertentangan dengan tata tertib beracara, karena undangan-undangan membolehkan pengajuan sita jaminan dapat dilakukan permintaan sepanjang proses persidangan berlangsung. Oleh kerena itu, pengabulan sita dalam kasus yang seperti itu tidak bertentangan dengan ultra petitum atrium yang digariskan pada pasal 178 ayat (3) HIR. Memperhatikan putusan di atas dihubungkan dengan ketentuan PAsal 227 Ayat (1) HIR, dapat dikemukan acuan pengajuan permintaansita.
5. Pengabulan berdasarkan pertimbangan objektif
Penyitaan tidak bercorak sewenang-wenang , perlu ditegakkan prinsip yaitu pengabulan sita harus berdasarkan pertimbangan yang objektif. Prinsip ini berdasarkan atas asa permohonan sita yang harus berdasakan alasan yang cukup dan objektif. Pengabulan sita haruslah jelas dan terang tercancum yang rasional.
6. Larangan penita milik pihak ke tiga
Proses penyelesaian perkara, tidak boleh merugikan pihak ketiga yang tidak ikut menjadi pihak dalam perkara. Digariskan pada Pasal 1340 KUHP yang menegaskan hanya mengkat pada para pihak yang membuatnya, berlaku juga dalam proses penyelesaian perkara. Hanya mengkat pada pihak yang menggugat dan tergugat.
7. Penyitaan berdasrkan perkiraan nilai obyektf dan Proporsional dengan jumlah tuntutan
Jumlah niali barang yang disita tidak melebihi jumlah tuntutan penggungat.penyitaan yang ekstrem melampaui jumlah gugatan disebut dengan tndakan undue process atau tidak sesuai dengan hokum acara dapat dikatagorikan sebagai tindakan sewenang-wenang
8. Mendahukukan Penyitaan Barang Bergerak
Apabila penggungat mengajukan tuntutan atas pemenuhan pembayaran utang atau tuntutan ganti rugi, sangat beralasan meminta penyitaan terhadap harta kekayaan tergugat. Permintaan sita terhadap barang tertentu apabila barang tersebut telah diikat dalam agunan atau terhadap sebagaian atau seluruh kekayaan tergugat berdasrkan Pasal1131 KUHP , apabila tuntutan tidak diikat dengan agunan agunan barang tertentu.
Permintaan sita jaminan mesti tunduk kepada prinsip yang diatur dalam Pasal 227 ayat (1) HIR dan 720 Rv. Berdasarkan ketentuan pasal-apasal itu, permintaan dan pengabulan maupun pelaksanaan sita jaminan atas tuntutan pembayaran utang atau ganti rugi , tunduk kepada prinsip:
(1) Yang pertama-tama disita ialah barang bergerak
(2) Apabila erkiraan barang bergerak belum mencukupi maka dialkukan penyitan barang tidak bergerak.
9. Dilarang Menyita Barang Tertentu
Diatur dalam Pasal 197 ayat (8) HIR atau Pasal 211 RBG. Ketentuan ini merupakan pengecualian asa yang diatur dalam Pasal 1131 KUP
10. Penjagaan sita tidak boleh diberikan kepda Penggugat
Ketentuan ini diatur dalam pasal 197 Ayat (9) HIR atau Pasal 212 RBG. Prinsip ini ditegaskan dalam SEMA No.5 Tahun 1975. Pada huruf (g) tersebut SEMA ditegaskan :
(1) Agar barang-barang yang disita tidak diserahkan kepada penggungat
(2) Tindakan hakim yang demikian akan menimbulkan kesan seolah-olah penggungat sudah pasti akan dimenangkan atau putusan serta-merta.
11. Ketentuan mengikat Sita Sejak di Umumkan
Pengumuman berita acara adalah syarat formil untuk mendukung keabsahan atau kekatan mengikat sita kepada pihak ketiga. Selama belum diumumkan kekuatan formilnya baru mengikat kepada para pihak yang bersengketa. Berarti selama penyitaan belum diumumkan, pihak ketiga yang melakukan transaksi atas barang itu, dapat dilindungi sebagai pembeli atau pemegang jaminan maupu penyewa yang beritikad baik.
Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 199 ayat (1) HIR . terhitung sejak hari pengumuman atau pemberitahuan penyitaan, tersita dilarang memindahkan, mengangunkan, ,menyewakan kepada pihak ketiga.
12. Dilarang Memindahkan Atau Membebani Brang Sitaan
Kekuatan sita jamnan yang telah diumumkan secara sah oelh jurusita dijelaskan dalam Pasal 199 ayat (1) , Pasal 214 ayat (1) dan Pasal 215 RBG. Berdasarkan ketentuan tersebut kekuatan mengikat sita jaminan meliputi:
(1) Para pihak yan berperkara
(2) Menjangkau pihak lain yang tidak ikut sebgaipihak yang berperkara.
13. Sita Penyesuaian
Diatur pada pasal 436 Rv. Emngatur prinsip saisie sur saisie ne vaut:
(1) Sita jaminan atau sita ksekusi atau sita dalam bentuk lainnya hanya boleh diletakkan satu kali atas suatu barang yang bersamaan,
(2) Oleh karena itu, apabila pihak lain meminta diletakkan sita sebelumnya, atas barang debitur yang telah diletakkan atas sita Kreditur
14. Larangan Penyita Milik Negara
Dalam salah satu Putusan MA terdapat penegasan, antara lain:
(1) Pada prinsipnya barang-barang milik negara tidak data dikenankan sita jaminan tau sita eksekusi, atasa alasan barang-barang milik negara dipakai dan diperuntukkan melaksakan tugas negara
(2) Berdasrkan Pasal 66 ICW, memberikan kemungkinan menyita barang-barang negara atas izin MA
(3) Akan tetapi, kebolehan itu mesti memperhatikan Pasal 66 bahwa barang-barang mlik negara tertentu baik karena sifatnya atau karena tujuannya menurut undang-undang tidak boleh disita
(4) Harus lebih dahulu melakukan proses penelitian sebelum melakukan penyitaan , barang tersebut yang termasuk barang yang menurut sifat dan tujuannya barang yang dapat disita atau tidak
15. Penyitaan milik Negara mengandung landasan Hukum
Pada UU Perbendaharaan Negara No.9 Tahun1968 tentang Larangan penyitaan barang milik negara. Dan diatur pada Pasal 50 UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menghapus ICW, St.1925 No.448 jo.UU No.9 tahun 1968
16. Barang yang disita oleh daam perkara perdata dapat juga disita di Perkara Pidana
Terdapan landasan hukun yang mengatur sita pidana atas perdata dalam pasal 39 ayat (2) KUHAP
C. Peran Jurusita dalam Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah
Pada Pasal 26 Ayat (2) UU No.7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama, berbunyi: dalam melaksanakan tugasnya panitera apengadilan Agama dibantu oleh wakil Panitera, beberapa orang Juru sita muda, beberapa orang juru sita pengganti dan beberapa orang jurusita.
Panitera tersebut memiliki beberapa tugas yang menitik beratkan pada pekerjaan teknis yaitu:
(1) Bertanggung jawab atas sah dan patut tugas kejuruansitaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
(2) Selalu berkoordinasi dengan jurusita pengganti secara vertical dan horizontal
(3) Ketusn pengadilan melaksanakan penyitaan terhadapa obyek sengketa tertentu dalam perkara
(4) Bertanggung jawab terhadap visi dan misi pengadilan yang terkait dengan pelasanaan tugas
(5) Meneliti instrument dan PHS yang diterima terutama hari dan tanggal sidang serta alamat para pihak yang akan dihubungi.
(6) Mempersiapkan blangko-blangko dan surat panitera yang akan disampaikan kepada pihak yang berkepentingan
(7) Mengetik surat yang akan disampaikan kepada pihak yang bersangkutan
(8) Menyampaikan surat-surat kejuruan sita kepada alamat yang bersangkutan.
(9) Dalam menyampaikan surat pemanggilan dengan memperhatikan surat alokasi waktu sidang agar klarifikasi surat menjadi patut
(10) Mengupayakan penyampaian surat kejuruan sita agar benar-benar diterima oleh pihak yang berhak sehingga klarifikasi surat menjadi sah
(11) Berusaha menyampaikan surat kejuruan sita pada saat waktu dan tempat yang tepat
(12) Membuat dan menandatangani berita acara penyitaan
(13) Menyerahkan Salinan resmiberita acara pada pihak yang berkepentingan
(14) Menyerahkan surat-surat yang telah menjadi akta autentik kepada pihak yang bekepentingan
(15) Menyampaikan informasi-informasi kepada pihak yang berkepentingan tentang situasi dilapangan
(16) Memberikan informasi kepada pihak terkait untuk kelancaran pelaksaaan tugas
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan dan Saran
1. kesimpulan
Dalam hokum perdata penyitaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1942, pada saat penajahan Jepang berdasarkan Undang-Undang tersebut penyitaan tetap diakui keberadaannya dan diperkenankan melaksanakan seluruh kegiatannnya sebagai yang diberlakukan pada masa pemerintah penjajahan Belanda. Ketentuan Sita dan penyitaan pemerintah Militer Jepang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1942 dan Nomor 34 Tahun 1942. Dalam ketentuan ini hamper semua apa yang tersebut dalam HIR dan R.Bg dipakai dalam pelaksaan sita dan penyitaan di lingkungan Pengadilan Negeri yang berlaku di Jawa, Madura dan di daerah seberang. Ada 16 prinsip pokok yang sita yang terdapat di dalamnya dan juga ada 16 peran jurusita dalam pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah
2. Saran
Masih banyak kesalah yang terjadi dalam pembuatan makalah untuk itu disadari oleh oleh penulis , maka dari itudibutuhkan pengembangan supaya menjadi lebih baik. Semoga makalah yang kami buat bisa bermanfaat bagi penulis khususnya bagi yang membaca. Apabila ada kesalahan yang tidak disengaja mohon dibenarkan ataupun dingatkan.
0 Response to "MAKALAH Penyitaan Hukum Perdata"
Post a Comment
Jika Postingan ini membantu kamu, ayo tinggalkan sedikit komentar agar Admin lebih bersemangat untuk terus menyediakan tulisan-tulisan yang bermanfaat bagi orang lain :)