Makalah Illegal Loging di hutan Kalimantan
BAB 1
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat beberapa jenis tindak pidana yang menjadi perhatian utama Pemerintah, yaitu tindak pidana korupsi, Pembalakan Liar (illegal logging) dan terorisme serta narkoba.
Terkait dengan pembalakan liar (illegal logging), berdasarkan data dari Departemen Kehutanan tahun 2003 disebutkan bahwa luas hutan Indonesia yang rusak mencapai 43 juta hektar dari total 120,35 hektar dengan laju degradasi dalam tiga tahun terakhir mencapai 2,1 hektar pertahun. Sejumlah laporan bahkan menyebutkan antara 1,6 sampai 2,4 juta hektar hutan Indonesia hilang setiap tahunnya atau sama dengan luas enam kali lapangan sepak bola setiap menitnya. Pada tahun 2004 Departemen Kehutanan menyatakan bahwa kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai 3,8 juta hektar pertahun dan negara telah kehilangan Rp. 85 Milyar perhari akibat pembalakan liar (illegal logging) .
Tidak dapat dipungkiri, pendekatan yang dilakukan oleh penegak hukum dalam penanganan kasus pembalakan liar (illegal logging) selama ini lebih menitikberatkan pada pelanggaran terhadap Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Padahal, pada derajat tertentu, sebagian besar tindak pidana illegal logging pada dasarnya bermotifkan ekonomi. Tanpa ada kepentingan ekonomi, tindak pidana tersebut tidak akan terjadi. Oleh karena itu, menjadi hal yang cukup penting dalam konteks memupus motivasi seseorang melakukan tindak pidana melalui pendekatan pelacakan, pembekuan, penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana. Seseorang ataupun kejahatan terorganisir dengan sendirinya akan menjadi enggan atau tidak memiliki motivasi untuk melakukan suatu perbuatan pidana apabila hasil perbuatan pidana tersebut dikejar dan dirampas untuk negara.
Penanganan tindak pidana pembalakan liar (illegal logging) dengan menggunakan pendekatan di atas menjadi penting karena berkembangnya aktifitas pencucian pencucian uang memberikan insentif atau kemudahan bagi pelaku pencucian uang untuk meningkatkan kejahatannya (predicate crime) seperti pembalakan liar (illegal logging) dan berbagai kejahatan lainnya. Kejahatan-kejahatan tersebut dapat melibatkan atau menghasilkan uang atau aset (proceeds of crime) yang jumlahnya sangat besar.
Tak dapat dipungkiri, eksistensi hutan sangatlah essensial dan memiliki bebagai manfaat baik secara langsung (tangible)ataupun secara tidak langsung (intangible). Secara langsung, hutan memainkan perannya sebagai tempat penyedian kayu, habitat bagi berbagai flora dan fauna, dan sebagai lokasi beberapa hasil tambang.
Disamping itu, secara tidak langsung, hutan dapat dijadikan lokasi rekreasi, perlindungan dan perkembangan biodiversitas, pengaturan tata air, dan pencegahan erosi.
Salah satu masalah yang menjadi dilema dari periode ke periode yang menyangkut hutan di Indonesia ialah pembalakan liar (illegal logging). Stephan Devenish, ketua Misi Forest law Enforecment Governance and Trade dari Uni Eropa mengatakan bahwa illegal logging adalah penyebab utama kerusakan hutan di Indonesia. Nampaknya, illegal logging merupakan masalah krusial yang sangat sulit untuk diatasi bahkan diminimalisir oleh negara kita.
1.2 Pengertian
Menurut Nurdjana, Teguh Prasetyo dan Sukardi, Pengertian iIllegal Logging adalah rangkaian kegiatan dalam bidang kehutanan dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan hasil hutan kayu yang bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dan berpotensi merusak hutan.
Menurut Haba, Pengertian illegal Logging adalah suatu rangkaian kegiatan yang saling terkait, mulai dari produsen kayu illegal yang melakukan penebangan kayu secara illegal hingga ke pengguna atau konsumen bahan baku kayu. Kayu tersebut kemudian melalui proses penyaringan yang illegal, pengangkutan illegal dan melalui proses penjualan yang illegal.
Pengertian Illegal logging secara umum adalah penebangan kayu yang dilakukan, yang bertentangan dengan hukum atau tidak sah menurut hukum. Menurut LSM Indonesia Telapak Tahun 2002, Pengertian illegal Logging adalah operasi atau kegiatan yang belum mendapat izin dan yang merusak.
Menurut Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch, Pengertian illegal Logging adalah semua kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan dan pengelolaan, serta perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum Indonesia. Lebih lanjut Global Forest Watch mengemukakan bahwa illegal logging terbagi atas dua, yang pertama dilakukan oleh operator yang sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam izin yang dimilikinya dan yang kedua melibatkan pencuri kayu, pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon.
Proses illegal Logging dalam perkembangannya semakin nyata terjadi dan seringkali kayu-kayu illegal dari hasil illegal logging itu dicuci terlebih dahulu sebelum memasuki pasar yang legal. Hal ini berarti bahwa kayu-kayu yang pada hakekatnya adalah illegal yang kemudian dilegalkan oleh pihak-pihak tertentu yang bekerja sama dengan oknum aparat, sehingga pada saat kayu tersebut memasuki pasar, akan sulit lagi diidentifikasi yang mana merupakan kayu illegal dan yang mana merupakan kayu legal.
Berdasarkan beberapa pengertian illegal logging di atas, dapat disimpulkan bahwa Pengertian illegal Logging adalah rangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ke tempat pengolahan hingga kegiatan ekspor kayu yang tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang, sehingga tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku da dipandang sebagai suatu perbuatan yang dapat merusak hutan.
1.3 Tujuan
a). Menganalisis berbagai penyebab yang mendorong semakin maraknya praktek illegal logging di Indonesia
b). Menganalisis pelaku (subject) praktek illegal logging di Indonesia
c). Mengetahui dampak (effect) yang ditimbulkan dari praktek illegal logging di Indonesia
d). Menganalisis berbagai cara efektif untuk mengurangi praktek illegal logging di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Pembalakan Liar di Kalimantan Timur
Dalam konteks Kalimantan Timur, salah satu kasus pembalakan liar yang mendapat perhatian yang cukup besar dar masyarakat luas adalah yang melibatkan Mayjen TNI (purn) Gusti Syaifuddin. Mantan Sekjen Depnakertrans disangka telah melakukan penjarahan kayu di Kecamatan Segah, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur. Gusti disangka melakukan penebangan di luar wilayah izin penebangan kayu yang dimilikinya sekitar 2.000 ha. PT Tunggul Buana Perkasa milik tersangka melalui dua kontraktornya, Arifin dan Darul Hakim, telah melakukan penebangan sejauh 14 km di luar wilayah tebangan sejak tahun 1999. Maret 2006, Tim Tastipikor dan tim khusus antipembalakan liar Mabes Polri telah menyita 6.200 M3 kayu hasil tebangan liar PT Tunggal Buana Perkasa.
Dari penjarahan kayu itu, negara dirugikan sekitar Rp 3,4 miliar. Dua tersangka lainnya yang jadi kontraktor PT Tunggal Buana Perkasa Arifin dan Darul Hakim telah ditahan. Mereka kini menjalani pemeriksaan di Pengadilan Negeri Tarakan. Sementara itu, Gusti Syaifuddin yang pada awalnya sempat diperiksa di Mapolda Kaltim tiba-tiba lolos dari pemeriksaan polisi. Dia kemudian menjadi DPO sejak Juni 2004 “Lolosnya” Gusti Syaifuddin keluar negeri, mengakibatkan empat perwira Polda Kaltim harus menjalani pemeriksaan pihak Provost Mabes Polri. Empat orang perwira tinggi dan perwira menengah Polda Kaltim menjalani pemeriksaan dan keempatnya dipindahkan, yakni Irjen Pol Drs Sitompul mantan Kapolda Kaltim, mantan Dir Reskrim Polda Kaltim Kombes Pol Drs Erry Prasetyo, mantan Kapolres Bulungan AKBP Drs Heddy Handoko, dan mantan Kasat Tipikor Polda Kaltim AKBP Drs Arif Prapto. Ketiga perwira menengah terakhir, kini menjadi perwira nonjob di Polda Kaltim.
Tidak dapat dipungkiri, pendekatan yang dilakukan oleh penegak hukum dalam penanganan kasus pembalakan liar (illegal logging) selama ini lebih menitikberatkan pada pelanggaran terhadap Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Padahal, pada derajat tertentu, sebagian besar tindak pidana illegal logging pada dasarnya bermotifkan ekonomi. Tanpa ada kepentingan ekonomi, tindak pidana tersebut tidak akan terjadi. Oleh karena itu, menjadi hal yang cukup penting dalam konteks memupus motivasi seseorang melakukan tindak pidana melalui pendekatan pelacakan, pembekuan, penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana. Seseorang ataupun kejahatan terorganisir dengan sendirinya akan menjadi enggan atau tidak memiliki motivasi untuk melakukan suatu perbuatan pidana apabila hasil perbuatan pidana tersebut dikejar dan dirampas untuk negara.
Penanganan tindak pidana pembalakan liar (illegal logging) dengan menggunakan pendekatan di atas menjadi penting karena berkembangnya aktifitas pencucian pencucian uang memberikan insentif atau kemudahan bagi pelaku pencucian uang untuk meningkatkan kejahatannya (predicate crime) seperti pembalakan liar (illegal logging) dan berbagai kejahatan lainnya. Kejahatan-kejahatan tersebut dapat melibatkan atau menghasilkan uang atau aset (proceeds of crime) yang jumlahnya sangat besar.
Berangkat dari pemahaman tersebut, studi ini akan mengkaji Putusan Pengadilan Negeri Tarakan No.62/Pid.B/2007/PN.TRK terkait dengan tindak pidana illegal logging yang dilakukan oleh Terdakwa Gusti Syaifuddin,SH. Bin H.Gusti Amir. Analisis ini akan memotret kasus tersebut dengan pendekatan yang berbeda, dengan suatu asumsi dasar bahwa pada derajat tertentu, sebagian besar tindak pidana illegal logging bukan merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri, tetapi berkelindan erat dengan tindak pidana perusakan lingkungan, korupsi, bahkan pencucian uang. Konsep penegakan hukum ini diberi nama Integrated Law Enforcement Approach (ILEA) atau pendekatan penegakan hukum terpadu. Pendekatan ILEA penggunaan UU Tipikor dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk memujudkan sasaran tersebut. Lebih jauh, konsep ILEA pada dasarnya tidak hanya juga berada dalam ranah hukum pidana, tetapi juga berkenaan dengan penggunaan instrumen hukum administrasi dan perdata dalam penanganan kasus pembalakan liar.
B. Kasus Posisi
Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur No. 522.21/1743/DK-VII/2004 tanggal 18 Mei 2004 tentang Ijin Pemanfaatan Kayu Tahun 2004/2005, areal yang diijinkan kepada Gusti Syaifuddin selaku Direktur Utama PT. Tunggul Buana Perkasa seluas 2.890 Ha (dua ribu delapan ratus sembilan puluh hektar). Sementara, pada sisi lain, Gusti Syaifuddin menganjurkan kepada Mr. Hoo Wui Kiong untuk melaksanakan pemungutan hasil hutan terhadap semua jenis kayu bernilai komersial bulat pada Areal PT. Tunggul Buana Perkasa seluas 16.350,00 Ha (enam belas ribu tiga ratus lima puluh hektar) yang berarti melebihi dari luas yang diijinkan. Demikian pula target produksi yang ditetapkan dalam SK IPK tahun 2004/2005 tersebut adalah kayu bulat diameter 40 Cm keatas sebesar 53.747 M³ (lima puluh tiga ribu tujuh ratus empat puluh tujuh meter kubik) sedangkan Gusti Syaifuddin mewajibkan Mr. Hoo Wui Kiong untuk memproduksi kayu bulat dengan target volume minimal sebesar 7.000 M³ per bulan sehingga jika jangka waktu kerjasama pemungutan hasil hutan tersebut selama 1 (satu) tahun maka target produksi yang diwajibkan/dianjurkan adalah sebanyak 84.000 M³ (delapan puluh empat ribu meter kubik), hal ini juga melebihi dari target produksi yang diijinkan.

Selain melakukan kerjasama pemungutan hasil hutan dengan Mr. Ho Wui Kiong Direktur Talumas Sdn Bhd yang pelaksanaannya di lapangan dilaksanakan oleh Arifin Bin Ali, Gusti Syaifuddin selaku Direktur Utama PT. Tunggul Buana Perkasa juga melakukan kerjasama operasional pemungutan hasil hutan dengan H. Darul Hakim Bin Abdul Hakim AB Mas Purwanata selaku Direktur CV. Sanggam Jaya Abadi yang dituangkan dalam perjanjian kerjasama Pemungutan Hasil Hutan tanggal 18 Oktober 2005. Adapun jangka waktunyaadalah sejak ditanda tanganinya perjanjian pada tanggal 18 Oktober 2005 sampai dengan tanggal 31 Desember 2006, padahal IPK Nomor: 522.21/1440/Kpts/DK-VII/2005 tanggal 31 Maret 2005 hanya berlaku sampai 23 Maret 2006.
Kontraktor (CV. Sanggam Jaya Abadi/H. Darul Hakim) bertugas melaksanakan Cleanand Clearing di Lokasi ex RKT I seluas 2.050 Ha (Wilayah Clean Clearing) dalam 2 tahapan :
1. Tahap I seluas 50 Ha selama 10 hari kalender berturut-turut dalam bulan Desember 2005 dan Kontraktor wajib menyiapkan lahan pembibitan kelapa sawit di lahan yang telah dilakukan clean and clearing ;
2. Tahap II seluas 2000 Ha dimulai pada bulan Februari 2006 sampai dengan Desember 2006 dan Kontraktor wajib memotong atau menebang kayu produksi diameter 20-49 cm sejumlah + 20.000 M³.

Kontraktor (CV.SJA) juga bertugas melaksanakan Cutting (Desember 2005 – Maret 2006) atas kayu diameter 50 cm atau lebih sejumlah + 35.000 M3 di lokasi RKT III. Apabila dijumlahkan target produksi kayu bulat yang wajib ditebang oleh CV. Sanggam Jaya Abadi/H. Darul Hakim dari kegiatan pada tahap II Clean Clearing dan kegiatan Cutting saja adalah sejumlah 55.000 M³ dimana target produksi yang dianjurkan/diperintahkan oleh Gusti Syaifuddin kepada CV. Sanggam Jaya Abadi/H. Darul Hakim tersebut sudah melebihi target produksi dalam IPK Nomor: 522.21/1440/Kpts/DK-VII/2005 tanggal 31 Maret 2005 yang hanya 43.642 M³.
Oleh karena masa berlaku Ijin IPK PT. Tunggul Buana Perkasa berakhir pada tanggal 23 Maret 2006 maka H. Darul Hakim memindahkan kegiatan penebangan ke Sungai Laung sekitar 12 km yakni tempat/lokasi yang ditunjukkan Suprapto lewat Umar surveyor CV. Sanggam Jaya Abadi /H. Darul Hakim atas anjuran dari saksi Suprapto anak buah Gusti Syaifuddin melalui Umar Surveyornya. Sesuai Hasil Pemeriksaan Areal Kerja PT. Tunggul Buana Perkasa di Desa Sajau Kecamatan Tanjung Palas Timur Kabupaten Bulungan yang dilakukan oleh Tim Gabungan yang terdiri dari Aparat Kepolisian Bareskrim Mabes Polri, Ditreskrim Polda Kaltim dan Polres Bulungan bersama-sama dengan Sunanto Pengukur Batas Hutan di UPTD Palonologi Kehutanan Tarakan pada tanggal 08 hingga tanggal 10 Maret 2006 di lokasi penebangan yang dilakukan oleh H. Darul Hakim Bin Abdul Hakim AB Maspurwanata, dengan menggunakan alat Global Position System (GPS) merk Garmin Etrex telah mengambil titik-titik koordinat di lokasi tersebut kemudian data koordinat yang diambil dari lapangan diploting dengan Peta Kerja Rencana Pemanfaatan Kayu (RPK) Tahun 2004/2005 pada Areal Perkebunan Kelapa Sawit Pola PRI-TRANS (KKPA)i PT. Tunggul Buana Perkasa Lokasi Desa Sajau Kecamatan Tanjung Palas Timur Kabupaten Bulungan Propinsi Kalimantan Timur skala 1 : 50.000, IPK PT. Tunggul Buana Perkasa Nomor : 522.21/1440/Kpts/DK-VII/2005 tanggal 31 Maret 2005 dan Peta Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Kalimantan Timur (Lampiran SK. Menhutbun No. 79/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 skala 1 : 250.000), telah diperoleh hasil bahwa titik koordinat 02° 37’ 13,7” LU dan 117° 36’ 15,7” BT adalah Tempat Pengumpulan Kayu (TPn) CV. Sanggam Jaya Abadi atau H. Darul Hakim Bin Abdul Hakim AB Maspurwanata yang sampai saat pemeriksaan masih ada kayunya dan disekitarnya terdapat bekas-bekas tebangan dan jalan sarad yang dilakukan oleh CV. Sanggam Jaya Abadi atau H. Darul Hakim Bin Abdul Hakim AB Maspurwanata. Lokasi ini terletak di dalam Rencana Areal Perkebunan PT. Tunggul Buana Perkasa.
Berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan yang telah dilakukan oleh Tim Gabungan yang terdiri dari Aparat Kepolisian Bareskrim Mabes Polri, Ditreskrim Polda Kaltim dan Polres Bulungan bersama-sama dengan Sunanto, Pengukur Batas Hutan di UPTD Palonologi Kehutanan Tarakan pada lokasi penebangan yang dilakukan oleh H. Darul Hakim selaku Direktur Utama CV. Sanggam Jaya Abadi yang diwajibkan atau dianjurkan oleh Gusti Syaifuddin tersebut adalah diluar Areal IPK PT. Tunggul Buana Perkasa Nomor : 522.21/1440/Kpts/DK-VII/2005 tanggal 31 Maret 2005 yang merupakan Perpanjangan IPK PT. Tunggul Buana Perkasa tahun 2004/2005 dimana tempat penebangan yang telah dilakukan atau titik koordiant di atas berada di luar Lokasi Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang diijinkan kepada PT. Tunggul Buana Perkasa Nomor : 522.21/1440/Kpts/DK-VII/2005 tanggal 31 Maret 2005, sementara jarak antara penebangan yang telah dilakukan dengan lokasi IPK yang diijinkan berjarak 12 kilometer.

2.2 Pelaku Illegal Loging di Kalimantan Timur
1. Masyarakat biasa
Masyarakat biasa kerap menjadi pelaku illegal logging. Masyarakat biasa yang dimaksud di sini ialah masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Biasanya, mereka akan memanfaatkan hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, terutama kayu. Tidak hanya itu, terkadang mereka juga melakukan illegal logging untuk membuka lahan sebagai tempat tinggal. Selain itu, masyarakat biasa juga dapat sebagai pekerja ataupun buruh di suatu perusahaan/organisasi.
2. Kalangan Pejabat
Pejabat dapat menjadi salah satu pelaku utama dan terpenting dalam kasus illegal logging. Karena apa? Karena mereka memiliki kekuasaan. Dengan adanya kekuasaan yang disalahgunakan, mereka dapat memberi izin kepada para pelaku pembalakan liar untuk menjalankan aksinya. Tidak hanya itu, kalangan pejabat kerap menjadi “protector” para cukong kayu untuk memuluskan aksinya. Hal inilah yang terkadang dapat membuat para cukong kayu terbebas dari jeratan hukum. Dari pemberian izin yang illegal ini, tentunya para pejabat terkait akan mendapatkan profit materi dari para cukong kayu ataupun perusahaan terkait.
3. Industri/Perusahaan
Satu lagi subjek yang tak kalah krusialnya dari praktek illegal logging ialah para industri dan perusahaan. Mereka biasanya bergerak dalam bidang manufaktur. Pada umumnya, alasan para industri/perusahaan melakukan Illegal Logging ialah untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industry/perusahaannya. Mereka biasanya akan mengadakan kerja sama dengan kalangan tertentu untuk melancarkan aksinya. Tidak hanya perusahaan/industri skala kecil saja yang terlibat, bahkan beberapa perusahaan/industri skala besar juga turut melakukan illegal logging.
2.3 Dampak Illegal Loging di Kalimantan Timur
a). Kepunahan berbagai varietas hayati
Illegal logging yang kian marak tentunya akan merusak bahkan menghilangkan habitat asli dari berbagai flora dan fauna. Dengan rusaknya habitat mereka, maka mereka akan kesulitan untuk melangsungkan kehidupannya, seperti kesulitan mencari makan akibat sumber makanan mereka yang ditebang, tidak adanya tempat untuk berkembang biak dan sebagainya. Contoh nyata ialah populasi orang hutan yang terancam punah, khususnya di Pulau Kalimantan Timur yang diakibatkan illegal logging dan pengalih fungsian hutan menjadi perkebunan sawit Para ahli mengestimasikan apabila hal ini tidak ditangani dengan serius, generasi mendatang hanya akan mengetahui flora dan fauna tersebut melalui fosil ataupun foto-foto saja.
b). Menimbulkan Bencana Alam
Pohon-pohon ditebangi hingga jumlahnya semakin hari semakin berkurang menyebabkan hutan tidak mampu lagi menyerap air hujan yang turun dalam jumlah yang besar,sehingga air tidak dapat meresap ke dalam tanah. Tentunya, ini bisa menyebabkan banjir,seperti yang menjadi langganan di kota Samarinda .Banjir di Kota Samarinda terjadi karena kurangnya daerah serapan air akibat adanya pengalih fungsian hutan menjadi pemukiman. Dengan pengalih fungsian ini, fungsi hutan juga akan menurun.
c). Menipisnya Cadangan Air
Seperti yang kita ketahui, salah satu fungsi hutan ialah tempat cadangan air. Dengan semakin maraknya illegal logging akan mengurangi eksistensi hutan, maka cadangan air bersih juga akan berkurang. Itulah sebabnya, di Indonesia sering terjadi kekeringan air khususnya pada musim kemarau.
d). Merusak Lapisan Tanah
Ketika eksistensi hutan menurun, maka hutan akan tidak optimal untuk menjalankan fungsinya menjaga lapisan tanah sehingga akan memperbesar probabilitas terjadi erosi yang nantinya dapat mengakibatkan lapisan tanah hilang dan rusak.
e). Penyebab Global Warming
Isu global warming pastilah tidak asing di telinga kita. Isu ini tidak hanya menyedot perhatian sebagian masyarakat tertentu, tetapi telah menjadi masalah global.
Global warming membawa dampak berupa bencana alam yang sering terjadi di Indonesia, seperti angin puyuh, seringnya terjadi ombak yang tinggi, dan sulitnya memprediksi cuaca yang mengakibatkan para petani yang merupakan mayoritas penduduk di Indonesia sering mengalami gagal panen. Global warming juga mengakibatkan semakin tingginya suhu dunia, sehingga es di kutub mencair yang mengakibatkan pulau-pulau di dunia akan semakin hilang terendan air laut yang semakin tinggi volumenya. Global warming terjadi oleh efek rumah kaca dan kurangnya daerah resapan CO2 seperi hutan. Hutan di Indonesia yang menjadi paru- paru dunia telah hancur oleh ulah para pembalak liar.
f). Berkurangnya Pendapatan Negara
Dari perspektif ekonomi kegiatan illegal logging telah mengurangi penerimaan devisa negara dan pendapatan negara. Berbagai sumber menyatakan bahwa kerugian negara yang diakibatkan oleh illegal logging mencapai Rp 30 trilyun per tahun. Permasalahan ekonomi yang muncul akibat penebangan liar bukan saja kerugian finansial akibat hilangnya pohon, tidak terpungutnya DR dan PSDH akan tetapi lebih berdampak pada ekonomi dalam arti luas, seperti hilangnya kesempatan untuk memanfaatkan keragaman produk di masa depan (opprotunity cost).
h). Dilihat dari aspek sosial, illegal logging menimbulkan berbagai konflik hak atas hutan, konflik kewenangan mengelola hutan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah serta masyarakat adat setempat.
i). Dilihat dari aspek budaya seperti illegal logging dapat memicu ketergantungan masyarakat terhadap hutan yang pada khirnya akan dapat merubah perspektif dan perilaku masyarakat adat setempat terhadap hutan.
2.4 Cara meminimalisir Ilegal logging
1. Menerapkan sanksi yang berat bagi mereka yang melanggar ketentuan mengenai pengelolaan hutan. Misalkan dengan upaya pengawasan dan penindakan yang dilakukan di TKP (tempat kejadian perkara), yaitu di lokasi kawasan hutan dimana tempat dilakukannya penembangan kayu secara illegal. Mengingat kawasan hutan yang ada cukup luas dan tidak sebanding dengan jumlah aparat yang ada, sehingga upaya ini sulit dapat diandalkan, kecuali menjalin kerjasama dengan masyarakat setempat. Ini pun akan mendapat kesulitan jika anggota masyarakat itu justru mendapatkan keuntungan materiil dari tindakan illegal logging.
2. Upaya lain yang juga dapat dilakukan adalah dengan mengoptimalkan pos-pos tempat penarikan retribusi yang banyak terdapat di pinggir-pinggir jalan luar kota. Petugas pos retribusi hanya melakukan pekerjaan menarik uang dari truk yang membawa kayu, hanya sekedar itu. Seharusnya di samping melakukan penarikan uang retribusi juga sekaligus melakukan pengecekan terhadap dokumen yang melegalkan pengangkutan kayu. Dengan tindakan pengecekan seperti ini, secara psikologis diharapkan dapat dijadikan sebagai upaya shock therapy bagi para sopir truk dan pemodal. Selain dari itu, juga harus dilakukan patroli rutin di daerah aliran sungai yang dijadikan jalur pengangkutan kayu untuk menuju terminal akhir, tempat penampungan kayu.
3. Upaya ketiga adalah menelusuri terminal/tujuan akhir dari pengangkutan kayu illegal, dan biasanya tujuan itu adalah perusahaan atau industri yang membutuhkan bahan baku dari kayu. Upaya ini dirasa cukup efektif untuk menanggulangi perbuatan-perbuatan illegal logging. Perusahaan atau industri seperti ini dapat dituding telah melakukan “penadahan”. Perbuatan menampung terhadap kayu-kayu illegal oleh perusahaan, yang dalam bahasa hukum konvensional KUHP disebut sebagai penadahan tersebut, dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi (corporate crime).
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Illegal logging merupakan salah satu kasus di sektor kehutanan Indonesia yang tidak bisa diremehkan, mengingat dampak negatif yang ditimbulkannya baik secara langsung maupun tidak langsung cukup bersifat signifikan di kehidupan masyarakat sehari-hari.
Penebangan kayu secara liar (illegal logging) merupakan gejala yang muncul akibat berbagai permasalahan yang sangat kompleks melibatkan banyak pihak dari berbagai lapisan. Ditambah lagi, bila praktek ini tetap dilakukan dengan itensitas yang tinggi, akan mengancam kehidupan anak cucu kita di masa mendatang.
Oleh karena itu, perlu adanya perhatian yang intensif dan kooperasi yang solid antar pihak.
3.2 SARAN
Berkenaan dengan illegal logging, sebaiknya semua pihak turut bahu membahu dalam meminimlisir praktek ini, karena tanpa adanya kerjasama antara pihak pemerintah dan masyarkat, maka praktek illegal logging akan sulit untuk dikecilkan presentasenya. Ditambah lagi, pemberantasan illegal logging bukanlah tanggung jawab suatu kalangan saja, tapi seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
Pemerintah sebaiknya menjalakan fungsinya dengan baik dan benar sebagai aparat yang mengawasi dan menegakkan hukum yang berlaku, jangan sampai malah menjadi pelanggar (pelaku) dari aturan yang telah dibuat.
Selain itu, pemerintah juga perlu mengadakan atau menjalin kemitraan dengan masyarakat. Dengan kemitraan ini, antar pihak akan lebih mudah untuk berkomunikasi dan bekerja sama. Di lain pihak, masyarakat sebaiknya bisa menjadi kontrol yang peka atas kinerja pemerintahan dalam menjalakan fungsinya dan berpartisipasi aktif dalam memberantas illegal logging, bukan hanya bisa menyalahkan dan memojokkan pemerintah tanpa berbuat apapun yang akan memperkeruh suasana tanpa solusi yang jelas.
DAFTAR PUSTAKA
– Leslie, White. 1949. The science of Cultuere. Penerbit Farrar
– Sujarwa 2011. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Surabaya. Penerbit: Pustaka Pelajar
– Kementrian Kehutanan. 2010. Statistik Kehutanan Indonesia (Foresty Statistics of Indonesia) 2009. Jakarta
– http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/54
– http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/04/23/problematika-penanganan-illegal-logging-di-indonesia/
– http://www.isai.or.id/?q=bagian+pertama-pembabat+hutan+bernama+illegal+logging+
– http://eprints.undip.ac.id/8332/
Ulasan yang bermanfaat tentang Illegal Loging,. Makalah ini hendaknya dijadikan pembelajaran bagi kita semua.
ReplyDeleteTerima kasih Pak, maksud pembuatan makalah ini memang untuk dijadikan bahan referensi dan pembelajaran
Delete